ADAB BERGAUL

Bergaul Dengan Teman

Bergaul dengan Saudara atau Teman
Terhadap saudara dan teman, ada dua tugas yang harus kau perhatikan:

Tugas pertama,
Terlebih dahulu engkau harus meli­hat kriteria orang yang bisa dijadikan sahabat atau te­man. Jangan engkau bersahabat kecuali dengan orang yang benar-benar layak dijadikan saudara atau sahabat. Rasulullah Saw. bersabda, “Seseorang bergantung pada agama teman karibnya. Oleh karena itu, hendaknya kalian memperhatikan siapa yang harus dijadikan teman karib.” Manakala engkau ingin mencari teman yang bisa menyertaimu dalam belajar serta bisa menemanimu dalam urusan agama dan dunia, perhatikan lima hal be­rikut ini:

1.Akal.Tidak ada untungnya bergaul dengan orang bodoh karena bisa berakhir kepada kemalangan dan terputusnya hubungan. Paling-paling mereka hanya akan memberikan mudarat kepadamu serta ingin memanfaatkanmu. Musuh yang pandai lebih baik daripada teman yang bodoh. Imam Ali r.a. berkata:

Janganlah engkau bergaul dengan orang bodoh
Hendaknya kau betul-betul menghindarinya
Betapa banyak orang bodoh yang menghancurkan si penyabar ketika ia menginginkannya. Seseorang diukur dengan orang lain
di mana orang itu mengikutinya
Seperti sepasang sendal yang sama
di mana sendal itu menyerupainya
Sesuatu dan yang lain
mempunyai ukuran dan kemiripan
Hati yang satu menjadi petunjuk
bagi hati yang lain ketika berjumpa

2.       Akhlak Yang Baik.Jangan engkau bersahabat dengan orang yang buruk akhlaknya. Yaitu, orang yang tak bisa menahan diri ketika muncul amarah dan syahwat. Alqarnah al-‘Atharidi rahimahullah, dalam wasiatnya kepada putranya manakala akan wafat, telah mengungkapkan hal itu, “Wahai anakku, jika engkau ingin bergaul dengan manusia, bergaullah dengan orang yang jika kau layani dia menjagarnu, jika kau temani dia membaguskanmu. Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau ulurkan tanganmu untuk kebaikan ia juga mengulurkannya, jika melihat kebaik­anmu ia mengingatnya, dan jika melihat keburukan­mu ia meluruskannya. Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau mengungkapkan sesuatu, ia mem­benarkan ucapanmu itu, jika engkau mengusahakan sesuatu ia membantu dan menolongmu, serta jika kalian berselisih dalam sebuah persoalan ia mengalah padamu.” Imam Ali r.a. mengungkapkan syair rajaz­nya:
Sesungguhnya saudaramu adalah yang ada bersamamu,
yang membiarkan dirinya menderita demi kepentinganmu,
Dan yang jika bingung dia menjelaskannya padamu
Dia rusak integritas dirinya untuk mengumpulkan dirimu


3.      Baik Dan Saleh. Jangan engkau bersahabat dengan orang fasik yang selalu berbuat maksiat besar. Karena, orang yang takut kepada Allah tak akan terus berbuat maksiat besar. Engkau tak akan aman dari bencana yang ditimbulkan oleh orang yang berbuat maksiat besar itu. Ia akan selalu berubah-rubah sikap sesuai dengan kondisi dan kepentingan. Allah Swt. berfir­man, “Jangan engkau ikuti orang yang Kami lalaikan hati­nya dari berzikir kepada Kami dan mengikuti hawa nafsu­nya. Orang itu telah betul-betul melampaui batas” (Q.S. al-­Kahfi: 28). Hindarilah bergaul dengan orang fasik. Sebab, selalu menyaksikan kefasikan dan maksiat akan membuatmu toleran dan meremehkan maksiat. Karena itu, hatimu akan memandang remeh masalah gibah. Seandainya mereka melihat cincin emas atau pakaian sutera yang dipergunakan seorang fakih, me­reka akan sangat mengingkarinya. Padahal, gibah le­bih hebat daripada itu.

4.      Tidak Tamak terhadap Dunia. Bergaul dengan orang yang tamak terhadap dunia merupakan racun yang membunuh. Sebab, kecenderungan untuk meniru sudah menjadi hukum alam. Sebuah tabiat bisa mencuri tabiat lainnya tanpa disadari. Dengan demikian, berteman dengan orang tamak bisa membuatmu lebih tamak, sebaliknya berteman dengan orang zuhud bisa membuatmu lebih zuhud.

5. Jujur. Jangan engkau bersahabat dengan pembohong karena bisa jadi engkau tertipu olehnya. Ia seperti fatamorgana. Ia membuat dekat yang jauh darimu dan membuat jauh yang dekat darimu.

Bisa jadi kelima hal ini tidak kau dapati pada orang-orang yang berada di sekolah atau di mesjid. Dengan demikian, engkau harus memilih salah satu, entah meng­asingkan diri karena hal itu akan membuatmu selamat, atau engkau bergaul dengan mereka sesuai dengan karakter mereka. Hendaknya engkau mengetahui bahwa saudara itu ada tiga macam:(1) Saudara untuk akhiratmu. Dalam hal ini engkau harus melihat pada agamanya. (2) Saudara untuk duniamu. Dalam hal ini, engkau harus memperhatikan akhlaknya. (3) Saudara untuk bersenang-senang Dalam hal ini  engkau harus selamat dari kejahatan, fitnah, dan keburukannya.

Manusia itu ada tiga jenis: ada yang seperti makanan dimana memang selalu diperlukan, ada yang seperti obat di mana hanya sewaktu-waktu saja diperlukan dan ada pula yang seperti penyakit di mana sama sekali tak diperlukan, tapi seorang hamba kadangkala diuji de­ngannya. Jenis yang ketiga inilah yang tidak menyenangkan dan tidak pula memberikan manfaat. Maka, engkau harus berpaling darinya agar selamat. Ketika menyaksikan tingkah lakunya kalau paham engkau akan mendapatkan manfaat yang besar. Yaitu, dengan menyaksikan kondisi dan perbuatannya yang buruk, engkau akan membenci dan menghindar darinya. Orang yang bahagia adalah yang bisa mengambil pelajaran dari orang lain. Seorang mukmin merupakan cermin bagi mukmin yang lain. Nabi Isa a.s. pernah ditanya, “Siapa yang telah mengajarkan adab padamu?” Nabi Isa a.s. menjawab, “Tak ada yang mengajariku. Tapi aku me­lihat kejahilan orang bodoh, maka aku pun menghin­darinya.” Benar sekali yang beliau katakan. Seandainya manusia meninggalkan apa yang mereka benci dari orang lain, adab mereka akan menjadi sempurna dan tak perlu lagi kepada para muaddib (orang yang mengajarkan adab atau etika).

Tugas kedua,
Memperhatikan hak-hak persahabatan. Manakala telah terjalin persekutuan, telah terbina hu­bungan antara engkau dengan temanmu itu, maka engkau harus memperhatikan hak-hak dan adab-adab persahabatan. Nabi Saw. bersabda, “Perumpamaan dua orang saudara adalah seperti dua tangan, yang satu membersihkan yang lain.” Nabi Saw. pernah masuk ke dalam semak belukar lalu memetik dua ranting siwak, yang satu bengkok dan yang satu lagi lurus. Waktu itu beliau bersama para sahabatnya. Lalu beliau memberi­kan yang lurus sedangkan yang bengkok beliau simpan untuk dirinya sendiri, lantas mereka bertanya, “Wahai Rasulullah engkau yang lebih berhak atas ranting yang lurus ini daripadaku.” Nabi Saw. menjawab, “Tidaklah seseorang menyertai temannya walaupun sesaat di wak­tu siang, melainkan ia ditanya, ‘Apakah ia telah me­nunaikan hak Allah Swt. dalam persahabatannya itu atau justru ia melalaikannya.’ Nabi Saw. juga berkata, “Tidaklah dua orang bersahabat, melainkan yang paling dicintai Allah Swt. adalah yang paling mengasihi te­mannya.”

Adab dalam bergaul atau bersahabat adalah meng­utamakan teman dalam hal harta. Jika tidak, maka de­ngan mengeluarkan kelebihan harta ketika dibutuhkan,atau membantu dengan jiwa saat diperlukan secara langsung tanpa diminta, menyimpan rahasia, menyembunyikan aib, tak menyampaikan cemoohan orang kepadanya,memberitakan pujian orang kepadanya, penuh perhatian terhadap apa yang dibicarakannya, memanggil dengan nama yang paling disukainya, memuji kebaikannya, berterima kasih atas bantuannya, membela kehormatannya di saat ia tidak ada sebagaimana ia membela kehormatannya sendiri, menasihatinya dengan lemah lembut dan jelas jika memang diperlukan, memaafkan ketika ia salah dan tidak malah mencaci, mendoakannya di saat berkhalwat dengan Allah, baik ketika masih hidup maupun ketika sudah meninggal, tetap setia kepada keluarga dan kerabatnya manakala ia sudah meninggal dunia, ikut meringankannya dan bukan justru memberatkan hajatnya, menghibur hatinya dari segala kerisauan, menampakkan kebahagiaan atas kemudahan yang ia dapatkan, bersedih atas hal buruk yang menimpanya, menyembunyikan di dalam hati apa yang ia sembunyikan sehingga ia benar-benar setia secara lahir maupun batin, mendahuluinya dalam mengucapkan salam ketika ber­temu, melapangkan majelis untuknya, membantunya ke­tika berdiri, serta diam ketika ia berbicara sampai selesai dengan tidak menyela atau memotongnya. Ringkasnya, hendaknya ia memperlakukan temannya itu sebagaimana ia senang kalau diperlakukan demikian. Siapa yang tak mencintai saudaranya sebagaima ia mencintai dirinya sendiri, berarti ia telah dihiasi nifak (sifat munafik). Ini merupakan bencana baginya di dunia dan di akhirat. Itulah adab-adab yang harus kau perhatikan berkenaan dengan hak orang awam yang bodoh dan hak para sahabat.

(Bidayatul Hidayah)

Santri PPWR Darussalam Karangpucung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *